PERTEMPURAN LIMA HARI SEMARANG SEBAGAI REFLEKSI KEBEBASAN DARI PENJAJAHAN


Oleh:
Evie Aprilianty
Pendidikan Sejarah-FPIPS UPI

Abstrak
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang secara resmi diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dengan cepat menyebar kepada rakyat Indonesia. Berita kemerdekaan segera menyebar ke berbagai penjuru nusantara lewat kantor-kantor berita setempat, di Semarang yang disiarkan oleh RRI. Terjadi gelombang pertempuran di Semarang salah satunya dengan pecahnya Pertempuran Lima hari Semarang yang terjadi antara rakyat dengan pasukan Jepang yang belum menerima kemerdekaan karena sesuai dengan janji dan kemerdekaan Indonesia dirasa belum direalisasikan. Refleksi dari keinginan kemerdekaan dari penjajah menimbulkan perlawanan dari rakyat untuk memperoleh kemerdekaan yang sebenar-benarnya.

Kata Kunci: Proklamasi, Pertempuran Lima hari Semarang, Kemerdekaan, Jepang.


A.    PENDAHULUAN
Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 tidak lantas diketahui oleh seluruh rakyat di penjuru nusantara. Saat tersiarnya berita kemerdekaan, banyak rakyat yang tinggal jauh dari kota Jakarta tidak serta merta mempercayainya. Tepat pada 22 Agustus 1945 Jepang mengumumkan menyerahnya mereka dan pada bulan september proklamasi kemerdekaan Indonesia diketahui hingga ke wilayah-wilayah terpencil.
Gairah revolusi mulai melanda negeri ini. Baik kaum Belanda maupun pihak revolusioner Indonesia, menganggap revolusi sebagai suatu zaman yang merupakan kelanjutan dari masa lampau. Belanda menganggap bahwa revolusi ini bertujuan untuk memulihkan kembali rezim kolonial menurut pandangan mereka, sedangkan bagi kaum revolusioner Indonesia revolusi ini adalah untuk menyempurnakan proses penyatuan dan kebangkitan nasional.

Gema revolusi yang menggema ke seluruh negeri membangkitkan semangat rakyat Indonesia khusunya para kaum muda. Para komandan Jepang di daerah-daerah menarik pasukan mereka di perkotaan ke daerah pinggiran kota untuk menghindari pertentangan-pertentangan dari kau revolusioner.
B.     LATAR BELAKANG PERTEMPURAN
Menyerahnya Jepang pada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 dan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, seharusnya menandai berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia. Mr. Wongsonegoro ditunjuk sebagai penguasa Republik di Jawa Tengah berpusat di Semarang, maka Pemerintah di Jawa Tengah berkewajiban mengambil alih kekuasaan yang selama ini dikuasai oleh Jepang baik dalam bidang pemerintahan, keamanan dan ketertiban.
Pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang selanjutnya menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian melakukan pelucutan senjata Jepang oleh TKR. Di beberapa wilayah di Jawa Tengah, pelucutan senjata terjadi tanpa kekerasan antara lain di Banyumas namun justru terjadi kekerasan adalah di Semarang.
Usaha rakyat Indonesia dalam merebut persenjataan Jepang di semua daerah dapat berjalan lancar kecuali di Semarang. Iwa Kusumasumantri dalam Dwi Mulyatari (1989: 93) mengungkapkan bahwa:
“... hal ini disebabkan karena sikap tentara Jepang yang tidak mau begitu saja menyerahkan senjata, ditambah dengan perobekan bendera Merah Putih oleh salah seorang tentara Jepang menimbulkan kemarahan rakyat Semarang”
Pertempuran Lima Hari di Semarang juga diawali dengan isu diracuninya tendon air minum oleh Jepang. Berita tersebut dengan cepat menyebar hingga terdengar oleh para pemuda untuk selanjutnya segera menyiapkan kekuatan untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan.

C.    JALANNYA PERTEMPURAN
Mr. Wongsonegoro sebagai gubernur Jawa Tengah meminta agar Mayor Kido Sinichiro untuk meyerahkan senjatanya kepada pemerintah Republik Indonesia dengan jaminan bahwa senjata tersebut tidak akan digunakan untuk melawan Jepang. Namun, ternyata Mayor Kido bersikeras tidak ingin menyerahkan senjata kepada pemerintah Indonesia. Kendati demikian, ada beberapa senjata yang diberikan oleh Jepang hanya saja senjata yang diberikan adalah senjata yang telah usang. (Poesponegoro dan Notosusanto, 2008: 74)
Tim penyusun buku “30 tahun Indonesia Merdeka” (1981:50) peristiwa Pertempuran Lima Hari Semarang dimulai pada tanggal 14 Oktober 1945, ketika kurang lebih 400 orang veteran AL Jepang yang pernah bertempur di Solomon (di Lautan Pasifik, di sebelah timur Pulau Irian) akan dipekerjakan umtuk mengubah pabrik gula Cepiring (30 Km di sebelah barat Semarang) menjadi pabrik senjata, memberontak pada saat dipindahkan ke Semarang.
Orang-orang Jepang tersebut, kemudian melarikan diri lalu bergabung dengan Kidobutai. Kidobutai atau yang disebut juga batalyon Kido adalah salah satu batalyon dibawah komando Brigade Nakamura yang berkedudukan di Magelang. Dinamakan batalyon Kido karena batalyon ini dipimpin oleh Kido Sinichiro.
Pada petempuran lima hari di Semarang jumlah pasukan lebih besar dari jumlah pasukan normal. Saat itu kurang lebih pasukan Jepang berjumlah 2000 orang pasukan dan kenyataan di lapangan bahwa ternyata bukan hanya pasukan yang bertempur juga melibatkan pasukan batalyon Yagi yang selama ini bertugas di Irian dengan kondisi yang jauh berbeda. (Mulyatari, 1989: 94)
Pasukan Yagi diyakinkan bahwa pejuang Indonesia akan merampas senjata yang mereka miliki bahkan mungkin nyawa. Hal inilah yang membangkitkan pasukan ini untuk melakukan penyerangan-penyerangan. Bahkan pasukan Yagi ini adalah pasukan yang lengkap. Pasukan inilah yang menyediakan sebagian besar pasukan untu melawan pejuang Indonesia.
Mula-mula sikap dari pasukan Kidobutai ini tidak menunjukkan permusuhan, justru sikap mereka lunak. Pada saat para pemuda akan mengambilalih senjata di tangsi Jatingaleh, diadakan perundingan terlebih dahulu. Sikap tanpa permusuhan Jepang ternyata memiliki maksud yang berbeda, dengan sengaja mengulur waktu mereka berusaha menyembunyikan senjata-senjata dan hanya memberikan peluru dan senjata yang rusak. Hal tersebut membuat rakyat dan para pemuda geram, terjadilah bentrokan-bentrokan kecil antara tentara Jepang dengan para pemuda.
Para pemuda Perguruan Perekonomian Taman Siswa pada tanggal 14 Oktober 1945 berhasil menduduki sebuah bekas tempat opsir Jepang yang terletak di Candi Baru yaitu daerah Semarang Selatan. Tidak lama kemudian, tempat tersebut dikepung oleh Jepang dan banyak pemuda yang tertangkap dalam operasi Keinpetai (militer Jepang) dibawah Nakamura Butai.
Pasukan Jepang semakin menjadi, setelah mengepung pemuda di Candi Baru. Angkah selanjutnya, pasukan Jepang menyandera Mr. Wongsonegoro yaitu gibernur Jawa Tengah untuk memperlunak tindakan para pemuda. Namun, kenyataannya berbalik kemarahan para pemuda lebih parah dari sebelumnya.
Situasi yang hangat ketika itu bertambah menjadi semakin panas dengan meluasnya desas-desus yang menggelisahkan masyarakat bahwa cadangan air minum di Candi telah diracuni oleh pihak Jepang. Dr. Karjadi, Kepala Labolatorium Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) menjadi korban saat memeriksa penampungan air dibunuh oleh pasukan Jepang. (Kartasasmita, 1981: 50)
Pada pagi harinya 15 Oktober 1945, pasukan Jepang yang dimasuki oleh para tawanan yang melarikan diri dari Bulu (Semarang Barat) bergabung dengan Kido Butai. Pasukan ini hendak mendahului para pejuang Indonesia, yang menurut kabar hendak mengambil senjata materil yang masih tersisa di tangan Jepang yang membuat jepang heran bahwa dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, membuat rakyat tidak memepercayai legalitas kekuasaan Jepang.
Pasukan Jepang dibagi dalam dua bagian, pasukan pertama ditugaskan di Jalan Oei Tiong Ham menuju asrama TKR kemudian ke kota. Sedangkan pasukan yang kedua menuju Gergaji kemudian ke Rumah Sakit Purusara dan membunuh pegawai Purusara. Gerakan kemudian dilanjutkan ke Gedung Nederlandsch Indische Spoorweg (NIS) di depan Tugu Muda dan terjadilah pertempuran.
Pertempuran Lima Hari yang melibatkan tentara Kido Butai yang dibantu oleh batalyon lain dihadapi oleh TKR dan para pemuda. Nugroho Notosusanto dala Dwi Mulyatari (1989: 99) Angka korban Indonesia sangatlah tinggi dibandingkan Jepang. Walaupun ada perbedaan pendapat menurut pihak Indonesia dan Jepang yaitu dalam versi Indonesia korban dari Indonesia 2000 dan dari pihak Jepang 500 orang sedangkan dalam versi Jepang adalah 1000 dari pihak Indonesia dan 60 orang namun betapapun banyaknya korban dari Indonesia sangatlah tinggi.
Pertempuran lima hari ini banyak memakan korban jiwa dan terbanyak adalah di Simpang Lima atau Tugu Muda. Pertempuran ini berakhir setelah diadakannya perundingan antara pimpinan pasukan Jepang dan TKR. Dalam perundingan tersebut, Jepang menuntut semua senjata diserahkan kembali pada Kido Butai, tetapi hal tersebut dirasakan Mr. Wongsonegoro  tidak akan berhasil mengingat kemarahan para pemuda. Akhirnya perundingan tersebut dipercepat setelah pasukan sekutu mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 yang selanjutnya melucuti dan menawan tentara Jepang.



D.    REFLEKSI TERHADAP KEBEBASAN DARI PENJAJAHAN
Masa revolusi di Indonesia yang terjadi pada kurun 1945 hingga 1950 merupakan sebuah refleksi bahwa sesungguhnya berada di bawah pengaruh penjajah itu sangatlah tidak nyaman dan merenggut kebebasan kehidupan berbangsa dan bernegara dan menjadi manusia yang dijunjung hak-haknya sebagai warga negara dan manusia.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI), Kemerdekaan adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan. Maka makna dari sebuah kemerdekaan begitu amat sangat berharga, suatu bangsa dapat menentukan nasib hidup bangsanya sendiri ketika tidak berada dalam kekuasaan bangsa ataupun negara lain.
Walaupun perjuangan bangsa Indonesia tidak semanis buah atau hasilnya dan harus dilakukan dengan cara revolusi hingga ribuan nyawa harus hilang demi sebuah nama “kemerdekaan.” Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) revolusi adalah perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yg dilakukan dng kekerasan (spt dng perlawanan bersenjata). Namun, tidak seluruh tatanan kenegaraan diubah secara keseluruhan. Maka dari itu, revolusi di Indonesia disebut pula revolusi nasional karena tidak mengganti keseluruhan seperti revolusi sosial dan warisan dari penguasa (dalam hal ini penjajah) masih beberapa digunakan dalam kehidupan bernegara.
Maka dari itu, patut kita syukuri kehidupan merdeka dewasa ini. Terlepas dari bagaimana cara kita memandang arti kemerdekaan itu sendiri. Yang pasti, “Merdeka dan Hidup Merdeka” adalah cita-cita setiap bangsa di dunia. Kita harus menghargai kemerdekaan ini dan menghormati jasa-jasa para pahlawan yang telah berguguran untuk memperoleh dan memeprtahankan kemerdekaan.



DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Kartasasmita, G., dkk. (1981). 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT Tema Baru.
Poesponegoro, M. J., dan Notosusanto, N. (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Skripsi:
Mulyatari, D. (1989). Kota Semarang pada Masa Revolusi (1945-1947). Diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1989.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Agustus

Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia

Mengatasi Masalah Buku Teks Sejarah Melalui Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa