Analisis Historiografi Oerip Soemohardjo: Letnan Jendral TNI (22 Februari1893- 17 November 1948)


Nama              : Evie Aprilianty
NIM                : 1103939

Judul Buku                   : Oerip Soemohardjo: Letnan Jendral TNI
(22 Februari1893- 17 November 1948)
Penulis                         : Rohmah Soemohardjo- Soebroto
Tahun terbit                 : 1973
Penerbit                       : PT. Gunung Agung
Jumlah halaman           : 136 halaman

A.  Deskripsi Singkat
Oerip Soemohardjo diceritakan sejak masih kanak-kanak hingga masa akhir di 17 November 1948. Oerip menghabiskan masa kecilnya di Sindurejan, Purworejo di sebuah daerah yang indah yaitu Bagelen. Oerip Soemohardjo sebelumnya diberi nama Mohammad Sidik, sebuah nama yang diperoleh dengan ilham.
Oerip kecil tumbuh seperti juga anak-anak lain, ia menjadi besar dan makin nakal tetapi kenakalannya melebihi anak-anak lain hingga ayahnya yang juga seorang Kepala Sekolah dengan gelar Mantri Besar kekurangan konsepsi dalam menghadapinya. Ketika masuk sekolah, Oerip dengan dua saudaranya yaitu Iskandar dan Soekirno bersekolah di perguruan yang dipimpin oleh ayahnya sendiri.
Ketiga bersaudara ini tidak terlalu pandai, bahkan jika kenaikan kelas nilai mereka hanya cukup untuk kenaikan saja karena nilai mereka tidak terlalu bagus. Setelah kenaikan kelas, dan menghadapi bulan Ramadhan biasanya keluarga mengunjungi rumah Kakek, bupati dari Trenggalek.
Oerip yang bernama Mohammad Sidik sebelumnya, mengalami kejadian yang menjadi titik balik dalam hidupnya. Suatu hari, tepat pada malam Jumat Oerip dan keempat temannya yang biasa melakukan kenakalan-kenakalan memanjat pohon kemiri yang disebut ada “Penghuni” nya. Tiba-tiba sesuatu terdengar terjatuh dari pohon. Dan benar saja, yang terjatuh tersebut adalah Oerip, semalaman tidak sadarkan diri, ibu dari Oerip menempelkan pilisan di kening dan keesokan harinya Oerip terbangun. Pagi saat Oerip tersadar seorang utusan telah dikirimkan ke Trenggalek, betapa gembiranya kakek mendengar berita selamatnya cucu kesayangan dan memerintahkan agar Sidik mulai hari itu memakai nama Oerip, yang berarti hidup, disinilah kisah Oerip dimulai.
Oerip Soemohardjo beranjak dewasa, Oerip mengikuti Klein-Ambtenaars Examen (Ujian Pegawai Muda) dan lulus dalam ujian tersebut, hal ini disampaikan Oerip pada ibu yang saat itu tengah menderita sakit dan menyampaikan kebanggaannya terhadap Oerip.
OSVIA sebuah sekolah untuk kelak menjadi pegawai pangreh praja, sekolah dengan suasana priyayi yang khas membuat perubahan besar dalam hidup Oerip. Oerip mengenyam pendidikan di OSVIA selama tiga tahun.
Perjalanan selanjutnya dari sosok Oerip Soemohardjo adalah KNIL. Pada bulan September 1925 Oerip dipindah ke Magelang, ia ditempatkan di kompanyi Marèchaussèe. Penempatan yang membuat Oerip pribadi dan membuat keluarga bahagia pun karena penempatan tersebut tidak terlalu jauh dari rumah dan ditempatkan dalam kesatuan pilihan KNIL. Oerip berada di KNIL dimulai sejak tahun 1926 hingga 1938. Masa Marèchaussèe yang tidak lama, kompanyi dipindahkan ke Surabaya, awal 1927 Oerip dipindah kembali ke Ambarawa dimana ia harus membentuk kembali batalyon rekrut yang telah dibubarkan.
Selama kariernya, Oerip Soemohardjo selalu memiliki nama baik. Bahkan di Purworejo namanya sangat baik. Sayanglah bahwa kecemburuan menyebabkan perbedaan paham yang kecil dengan Bupati orang menjadikan alasan untuk mengusulkan pemindahannya ke Gombong. Namun, Oerip Soemohardjo yang mengonfirnamsi berita tersebut terlebih dahulu memutuskan bersikap indisipliner, menolak dan meminta berhenti dari dinas. Peristiwa tersebut merupakan akhir menyedihkan dari karier gemilang seorang Oerip di KNIL. Tetapi hal tersebut merupakan salah satu suara Oerip terhadap ketidak adilan yang ia rasakan.
Selanjutnya, Yogya, Bandung, Cimahi sampai kapitulasi 8 Maret 1942 menceritakan kehdupan Oerip setelah mengundurkan diri dari KNIL dan menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa dengan menjalankan hobi barunya yaitu menanam anggrek. Setelah kepindahan ke Cimahi, Oerip Soemohardjo dipercaya panglima tentara untuk membentuk Depo Batalyon baru dalam bidang yang telah menjadi keahliannya selama ini.
Pada zaman Jepang, oleh pimpinan Jepang Oerip Soemohardjo dipercaya menjadi komandan kamp tawanan perang di Cimahi. Kemudian pada masa kemerdekaan Indoensia revolusi pecah, Oerip menerima telegram dari Drs. Mohammad Hatta untuk menemui Ir. Soekarno dan mendapat tugas untuk membentuk tentara. Ia memeproleh jabatan sebagai kepala staf dan menerima panggilan ‘pak Oerip’ dan istri ‘Ibu Oerip’ keduanya menjadi disibukkan dengan rutinitas dinas.
Secara resmi, Letnan Jendral Oerip Soemohardjo menjadi Kepala Staf Umum Angkatan Perang Republik Indonesia yang pertama dan menjalankan tugas sebaik-baiknya. Pada pagi hari pada tanggal 15 September 1969 saat peresmian patung ‘Si Tua’ di lapangan AKABRI Magelang, mayor jendral Solichin menyatakan bahwa Oerip Soemohardjo senantiasa menentang kompromis Belanda. Akhir dari karier Oerip Soemohardjo adalah 17 Nopember 1948 saat Oerip menghembuskan nafas terakhirnya.

B.  Analisis Historiografi
Historiografi terbentuk dari dua akar yaitu history dan grafi. Histori artinya sejarah dan grafi artinya tulisan. Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem orinted) maupun bersifat ilmiah (no problem oriented). (Djayusman, 2012) Taufik Abdullah dalam Mulyana (2009: 121) mengartikan historiografi adalah puncak dari segala-galanya sebab apa yang dituliskan itulah sejarah yaitu historiecitie, sejarah sebagaimana dikisahkan yang mencoba menangkap dan memahami historie-realitie, sejarah sebagaimana terjadinya dan hasil penulisan sejarah inilah yang disebut sebagai historiografi.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba melakukan analisis historiografis terhadap buku Oerip Soemohardjo: Letnan Jendral TNI (22 Februari1893- 17 November 1948) ditulis sendiri oleh Rohmah Soemohardjo yaitu istri dari Oerip Soemohardjo.
Salah satu macam dari historiografi dalam perkembangannya adalah historiografi tradisional. Dalam Mulyana (2009: 35) salah satu cirinya adalah adanya kepercayaan akan klasifikasi magis yang mempengaruhi segala sesuatu yang ada di alam ini, baik ini makhluk hidup ataupun benda mati. Dalam buku ini, ada sesuatu yang mistik yang dipercaya masyarakat setempat yaitu di Sindurejan memiliki “penghuni” yaitu sebuah pohon kemiri.
Rumah di Jl Sindurejan mempunyai pekarangan yang luas; di sana terdapat pohon sawo, jeruk, kedondong, dan masih banyak lagi pohon-pohon buah-buahan lainnya. Konon kabarnya di dalam pohon kemiri di pekarangan itu berdiam makhlik halus, orang yang tidak suka memperbincangkannya dan secara diam-dian disebut “Si Penghuni”. (Soemohardjo,1973: 14)

Historiografi diklasifikasikan oleh Taufik Abdullah dan Abdurrohman Surjomiharjo menjadi 3 jenis. Pertama “Sejarah Ideologis” yaitu penulisan yang bertitik tolak pencarian arti subjektif dari peristiwa sejarah. Kedua, yaitu “Sejarah Pewarisan” ciri utamanya adalah kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan. Ketiga adalah “Sejarah Akademik” yang memberikan gambaran yang jelas mengenai masa silam yang ditopang dengan tradisi akademik. (Mulyana & Darmiasti, 2009: 122-123)
Sejarah Ideologis yang bertitik tolak pencarian arti subjektif dari peristiwa sejarah tidak saja mempelajari sejarah bukan untuk pengetahuan masa lampau tetapi demi lambang dalam konteks kekinian. Buku ini dalam konteks idelogis tidak memperlihatkan karena penulis lebih menceritakan dari sisinya sebagai istri yang memperoleh sumber dari orang tua Oerip Soemohardjo, atau mertua dari penulis dan tetntu saja dari Oerip Soemohardjo yang ia dampingi selama dua puluh dua tahun. Namun, subjektivitas memang sangat kental karena penulisan biografi ini ditulis oleh orang yang paling dekat dengan tokoh, jadi menulis sejarah dalam sisinya sebagai pendamping.
Masalah subjektivitas dan objektivitas memang hal ‘klasik’ yang kerap kali diperdebatkan. Namun, hal itu tidak harus diperdebatkan karena interpretasi setiap sejarawan dalam memaparkan dan menuliskan sejarah tidaklah selalu sama. Helius Syamsuddin (2007: 139) dalam bukunya Metodologi Sejarah meyatakan bahwa sebenarnya bukan hanya sejarah tetapi juga disiplin-disiplin kognitif lain tidak dapat objektif karena adanya tuntutan untuk objektif. Conkin dan Stromberg dalam Syamsuddin (2007: 139-140) tuntutan- tuntutan objektif adalah hal yang mustahil dipenuhi seperti:
1.    Kebenaran mutlak;
2.    Sesuai dengan kenyataan, termasuk juga tersembunyi;
3.    Netralitas mutlak, tidak memihak, dan tidak terikat;
4.    Kondisi-kondisi yang harus lengkap untuk semua peristiwa ke dalam hukum-hukum yang berlaku umum.
Selanjutnya, dilihat dari jenis historiografi yang kedua yaitu “Sejarah Pewarisan” yang ciri utama penulisannya adalah kisah kepahlawanan perjuangan kemerdekaan. Dalam penulisannya, ada pelajaran yang dapat diambil dari karya-karya dari “Sejarah Pewarisan” karena karyanya menggambarkan betapa para patriot Indonesia menentang hambatan-hambatan serta menderita kesulitan fisk dan psikis demi mencapai kemerdekaan.
Penulis buku Oerip Soemohardjo: Letnan Jendral TNI (22 Februari 1893- 17 November 1948) menggambarkan sifat-sifat dari Oerip Soemohardjo. Sifat-sifat baik dari Oerip telah tertanam sejak masa kanak-kanak. Oerip tidak seutuhnya memiliki jiwa bangsawan, ia lebih dekat dengan rakyat kecil.
“...Maka ramailah pertemuan kembali dengan kawan-kawan dari kampung Sindurejan, hidup mereka tanpa Ndoro Sidik tidaklah menyenangkan.
Mereka mulai lagi mencari jangkrik, layang-layang diterbangkan dan mereka mengarang kenakalan-kenakalan seperti misalnya bermain hantu pada malam Jumat dan menakut-nakuti orang dewasa apabila petang hari pulang dari mesjid”. (Soemohardjo, 1973: 17)

Amrin Imran dalam bukunya juga menggambarkan bahwa sekalipun keturunan bangsawan, Oerip tidak mewarisi darah bangsawan itu secara utuh. Dalam dirinya telah terjadi seleksi secara alamiah. Dalam kehidupannya, ia lebih dekat dengan rakyat kecil. Kawan-kawannya di Sindurejan mayoritas adalah rakyat biasa, bersama merekalah Oerip hidup dalam suasana gembira tanpa ada perbedaan antara bangsawan dan rakyat jelata. (Imran, 1983: 40)  
Oerip Soemohardjo juga tumbuh seperti anak-anak lain. Walaupun nakal tetapi juga memiliki jiwa kepemimpinan sejak kecil.
“Bayi Sidik belajar merangkak dan berjalan seperti juga anak-anak lain. Ia menjadi besar dan makin nakal, juga seperti anak-anak lain. Tetapi pada bidang itu ia melebihi anak-anak lain, sehingga ayah mertua saya yang menjadi kepala sekolah dengan gelar Mantri Besar, sering kekurangan konsepsi-konsepsi pendidikan untuk dapat menguasai anaknya. Ayah mertua tidak pernah berhasil menguasainya, dan dengan demikin Sidik tumbuh menjadi pemimpin daripada semua anak laki-laki di kampung. Mereka senang mengikutinya, kemanapun dan bilamanapun.“ (Soemohardjo, 1973: 14)

Mempunyai sikap berperikemanusiaan sekalipun pada seorang narapidana. Hal ini ditunjukkan pada saat Oerip tengah melaksanakan tugas dinas di Samarinda.
“Seorang teman lain adalah seorang Cina muda bernama Lim; tidak ada yang mengetahui apa nama lengkapnya, ia datang dengan sejumlah narapidana dari Jawa melalui Makassar dan Tarakan. Mereka turun dari kapal dalam keadaan terbelenggu dan dirantai satu sama lain. Mereka dibawa ke depan rumah atap kecil Oerip, yang sangat membenci tontonan semacam itu. Ia memerintahkan supaya belenggunya dilepaskan dan ketika mereka menunggu perintah selanjutnya sambil berjongkok di tanah, Oerip menyuruh beri mereka kopi dan rokok. Mereka adalah penjahat besar, namun mereka masih dapat menghargai sikap berperikemanusiaan.” (Soemohardjo, 1973: 48)

Selain itu, penulis memaparkan bahwa Oerip Soemohardjo dengan pendidikan militernya yang kuat. Ia memang seorang yang pendiam tetapi memiliki pandangan yang tajam dan kesetiaan yang besar.
“... Mas dengan pendidikan militernya yang kuat, biasa kepada suasana militer yang khusus yang berlainan dengan suasana para rekan yang baru, yang kini mengelilinginya. Bagaimanapun juga ia dapat menemukan jalan untuk dapat bekerjasama dengan baik dengan mereka, berkat kesetiaan yang besar pada tugas menyesuaikan diri yang besar.
Bahwa ia pendiam da juga tajam dalam memberikan pertimbangan tidak berarti bahwa “Si Tua” tidak mempunyai rasa humor...”
Dalam tubuh Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kewibawaan pemerintah yang belum kokoh Oerip bersama Jendral Soedirman bahu membahu dalam berjuang untuk Tanah Air.
“Untuk melaksanakan tugasnya menyusun organisasi TKR dalam zaman revolusi, padahal kewibawaan pemerintah masih belum kokoh, Mas menyelenggarakan konperensi besar Tentara Keamanan Rakyat. Dari seluruh Sumatera dan Jawa datang utusan-utusan yang akan memilih panglima Besar dan Kepala staf Angkatan Umum. Demikianlah Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar dan Mas menjadi Kepala Staf Angkatan Umum.” (Soemohardjo, 1973: 103)
Aan Ratmanto dalam bukunya pun memaparkan bahwa Oerip Soemohardjo diangkat sebagai Kepala Staf Umum (KSU) TKR. Dengan jabatan yang penting Oerip Soemohardjo dipercaya dalam penunjukkan atau formattur TKR. (Ratmanto, 2013: 20)
Dapat dikatakan bahwa beberapa unsur dari buku bersifat pewarisan. Banyak beberapa pelajaran yang dapat diambil dalam biografi Oerip Soemohardjo sebagai sebuah refleksi dari seorang militer yang mencintaui tanah airnya hingga titik darah penghabisan dan berjuang demi tanah air.
Selanjutnya jenis historiografi yang ketiga adalah “Sejarah Akademik”. Sejarah akademik yang tidak bersifat ideologis dan filosofis dan memberikan gambaran yang jelas menegnai masa silam yang ditopang dengan tradisi akademik. Karya sejarah dari jenis ini tidak semata hanya berupa kisah tetapi, melainkan cenderung bersifat struktural dan “holistik” dan menggunakan ilmu bantu.
Buku Oerip Soemohardjo: Letnan Jendral TNI (22 Februari 1893- 17 November 1948) merupakan buku yang dapat dikatakan sebagai sebuah cerita dari Rohmah Soemohardjo sebagai istri dari Oerip Soemihardjo. Dari segi konten atau isi dari buku pun jelas tidak menggunakan pendekatan ilmu bantu lain secara spesifik dan metodologis seperti pendekatan ilmu sosiologi, antropologi, ilmi politik, dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Dapat disimpulkan bahwa buku tidak mengandung sejarah yang sifatnya akademik.
Melihat dari jenis-jenis historiografi diatas, buku yang dianalisis lebih condong kepada jenis historiografi yang kedua yaitu “Sejarah Pewarisan” dimana kebanyakan memaparkan mengenai kepahlawanan dari tokoh patriotisme Oerip Soemohardjo dalam perjuangan membela tanah air.

C.  Kesimpulan
Oerip Soemohardjo sebagai seorang yang dilahirkan dari keluarga bangsawan namun tetap hidup merakyat. Sindurejan sebuah daerah yang indah di Purworejo menjadi saksi bisu lahir dan tumbuhnya seorang Letnan Jendral TNI.
Dalam perjalanan kariernya jatuh bangun ia hadapi dalam menjalankan tugasnya baik sejak dari bersekolah di OSVIA, merintis karier di KNIL hingga pada puncak ia menjadi Kepala Staf Umum (KSU) Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi formattur dalam tubuh TKR ketika Jendral Soedirman menjadi Panglima Besar.
Penulisan sejarah atau historiografi dalam prosesnya mengalami perkembangan baik dari neerlandosentrisme, indonesiasentrisme, maupun ideologisme. Diantara hal tersebut, jenis historiografi yang dikenal adalah historiografi tradisional, akademik, ideologis dan pewarisan.
Dari semua unsur yang menjadi ciri-ciri jenis dari historiografi di atas,  buku dari Oerip Soemohardjo: Letnan Jendral TNI (22 Februari1893- 17 November 1948) lebih kental dengan “Sejarah Pewarisan” dibanding dengan unsur yang lainnya. Menarik, karena biografi ternyata ditulis oleh Rohmah Soemohardjo yaitu istri dari Oerip Soemohardjo. Hal ini akan menimbulkan unsur subjektivitas yang sangat tinggi namun kembali lagi tuntutan dari objektivitas tidaklah mudah karena memiliki unsur yang mustahil dipenuhi.


D.  Daftar Pustaka

Imran, A. (1983). Urip Sumohardjo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional 1983/1984.
Mulyana, A., & Darmiasti. (2009). Historiografi di Indonesia: dari Magis-Religius hingga Strukturis. Bandung: PT Refika Aditama.
Ratmanto, A. (2013). Kronik TNI: Tentara Nasional Indonesia 1945-1949). Yogyakarta: Mata Padi Pressindo.
Sjamsuddin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Soemohardjo, R. (1973). Oerip Soemohardjo: Letnan Jendral TNI  (22 Februari1893- 17 November 1948). Jakarta: PT. Gunung Agung.
Jayusman, I. (2012). Historiografi Tradisional dan Modern. [online] tersedia: http://iyu sjayusman.blogspot.com/2012/09/historiografi-tradisional-danmodern.html. Diakses pada tanggal 01 Agustus 2013.




LAMPIRAN
1.      SAMPUL BUKU









2.    DAFTAR ISI

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Agustus

Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia